Sebuah Ketenangan Hidup
“Ke Surabaya!!??..” , sontak aku terkejut mendengar berita penempatan kerja dari suamiku. Tidak pernah terbayang dalam benakku bahwa kami akan berpisah setelah menikah, apalagi disaat kami tahu bahwa aku mengandung anak pertama kami.
Suamiku saat itu baru tiga bulan bekerja di sebuah perusahaan consumer good terkemuka di Indonesia, setelah berpindah kerja dua kali sebelumnya. Tidak ada tanda-tanda bahwa dalam waktu dekat dia akan dipindahkan ke Surabaya. Tapi sebagai karyawan baru, tentu saja tidak bisa menolak tanggung jawab tersebut walaupun sangat mendadak.
Kami tak dapat berbuat banyak, hanya pasrah. Aku sendiri berusaha keras untuk menutupi perasaan takutku ketika melihat suamiku tampak bersemangat menjalani tanggung jawab barunya.
“He wants this?...”, batinku. Kembali terlintas dalam ingatan ketika kami berdebat tentang keinginan dia pindah kerja lagi. Walaupun aku paham dengan keinginan dia untuk menjadi kepala keluarga yang baik yang dapat mencukupi kebutuhan istri dan anak, tapi entah kenapa aku lebih melihatnya sebagai suatu kepuasan yang tak pernah tercukupkan dalam materi. Atau status? Aku berharap semoga hal itu tidaklah benar.
Hampir 1 tahun berlalu kami berjarak jauh. Dia di Surabaya dan aku di Jakarta bekerja dan menjalani kehamilanku. Kami bertemu 2–3 minggu sekali.
Februari 2009, anak pertama kami lahir di kampung halaman kami, Yogyakarta. Belum ada dua minggu setelah kelahiran anak kami, peristiwa baru yang lagi-lagi di luar dugaan terjadi. Suamiku bersikap seperti orang yang ketakutan dan putus asa yang berlebihan. Saat itu dia harus mempersiapkan bahan untuk proses evaluasi masa kerja. Entah apa yang membuat dia bersikap seperti itu, berbagai pertanyaan dan diskusi aku lontarkan tetapi hanya satu jawaban dia, "Aku takut, Ma… Ga tau.. tapi aku takut!”
Sampai pada suatu saat dimana kondisinya memburuk, dia kurang bisa diajak komunikasi. Perasaanku sedih, marah, bingung, sungguh tak karuan menghadapi ini. Di saat aku masih proses pemulihan setelah melahirkan dan juga menyusui. Namun, ada kekuatan dalam hati kecilku yang mendorong aku untuk menyusulnya, memastikan bahwa semuanya harus dilewati dan akan baik-baik saja. Lalu, dengan kekuatan seadanya, aku nekad menyusulnya ke Surabaya tanpa memberitahu dulu.
Kutemukan sosok lain dari suamiku di Surabaya. Seolah dia sedang berusaha mengangkat beban berat yang aku sendiri tidak tahu apa. Curahan kerinduan dan kepenatan batin terungkapkan dari hati ke hati, namun tetap belum menyembuhkan ketakutan yang sedang dialaminya.
Aku mulai melihat apa yang sesungguhnya terjadi, yaitu sebuah penolakan dari hati terdalam terhadap kondisi dan sistem di lingkup pekerjaan yang tidak sesuai. Inilah menjadi penyebab paling mendasar dari kegelisahannya. Akhirnya, kami putuskan agar dia berhenti bekerja.
Sebagai seorang kepala keluarga, sangat dipahami ada kebanggaan dan kepuasan tersendiri bagunya apabila kebutuhan keluarga semua terpenuhi. Namun tidak serta merta berdasarkan pada kepuasan materi. Kepuasan manusia tidak akan ada habisnya.
Pelajaran paling bermakna bagi kami sebagai pasangan suami istri degan anak pertama di tahun itu. Bahwa segala hal sangat perlu dikomunikasikan dengan seterbuka mungkin. Segala apa yang dirasakan, visi yang mau dibangun, hingga detil pelaksanaan yang akan dilakukan, sebaiknya disepakati bersama.
Yakin bahwa segala sesuatu ada waktunya itulah yang dapat mengantar kita kepada sebuah ketenangan hidup. Hidup berkelimpahan materi tidak selalu menjadi target pencapaian yang tertinggi. Dengarkan apa yang dikatakan jauh di lubuk hati yang paling dalam untuk kita lakukan di dunia ini.
Hidup tenang, tentram dan damai adalah yang terpenting.
Komentar
Posting Komentar